Thursday, August 6, 2009

IJTIHAD DALAM MENENTUKAN ARAH KIBLAT

Keempat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat salah satu merupakan syarat sahnya shalat. Bagi Mazhab Syafii telah menambah dan menetapkan tiga kaidah yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:

1.Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Untuk menghadap kiblat yakin, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang hidup di sekitar ka’bah. Orang-orang yang nhidup ndi sekitar ka’bah wajib hukumnya menghadap kiblat dengan penuh yakin. Ini yang disebut dengan “Ainul Ka’bah”, ka’bah yang mampu di lihat dengan mata telanjang.


1.Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Dalam hal ini diperuntukan untuk orang-orang yang hidup di luar daerah ka’bah atau masjidil haram. Untuk mengetahui arah ka’bah dapat ditanyakan pada penduduk Makkah atau tanda-tanda kiblat yang sudah dibuat pada tempat-tempat tertentu.

2.Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Dalam hal ini diperuntukkan untuk orang-orang yang hidup sangat jauh dari ka’bah. Pada intinya, bagi orang yangtidak tahu arah kiblat bisa menghadapa kemanapun yang ia yakini sebagai arah kiblat. Namun bagi yang mampu berijtihad maka wajib hukumnya untuk mencari tahu arah kiblat.
Ada banyak media ijtihad untuk menentukan arah kiblat. Diantaranya dengan menggunakan rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam, teori segitiga bola, teori imamNawawi, kompas, GPS, theodolit dan sebagainya.
Selengkapnya...

Monday, August 3, 2009

HUKUM MENGHADAP KIBLAT

1. Wajib
Ketika sholat fardhu ataupun sunat. Ketika thawaf di Baitullah. Dan ketika menguburkan jenazah, maka kepala jenazah harus menghadap kiblat.
2. Sunah
Ketika membaca Al Quran, tidur, berdoa dan berdzikir.
3. Haram
Ketika buang air besar/kecil di tanah lapang tanpa ada penghalang.
4. Makruh
Ketika membelakangi arah kiblat ketika buang air besar /kecil atupun kaki yang membujur arah kiblat ketika tidur telentang.


Dari penjelasan di atas, seyogyanya kita mampu mengaplikasikan dalam prakteknya sebagai media mendekatkan diri pada Allah SWT.

Selengkapnya...

Sunday, August 2, 2009

Sejarah Astronomi Islam Klasik

Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki sebagai ‘ratu sains’. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa.
Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk mulai menabur benih dan panen.
Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500 – 3000 SM). Bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi. Pembagian lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria.


Orang Sumeria juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria.
Astronomi juga sudah dikenal masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500 SM, Aryabhata melahirkan sistem matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. Aryabhata membuat perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598 – 668) juga menulis teks astronomi yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada 628. Dialah astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah astronomi.
Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga sudah mengenal astronomi. Awalnya, astronomi di Cina digunakan untuk mengatur waktu. Orang Cina menggunakan kalender lunisolar. Namun, kerena perputaran matahari dan bulan berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender baru dan membuat observasi.
Bangsa Yunani kuno juga amat tertarik dengan astronomi. Adalah Thales yang mengawalinya pada abad ke-6 SM. Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan terobosan penting yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.
Aristachus pada abad ke-3 SM sempat melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Teori itu tak mendapat tempat pada masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu disempurnakan Ptolomeus pada abad ke-2 M .
Astronomi Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `ratu sains’ itu yang hingga kini masih digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir, dan vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam empat periode. Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani, India dan Sassanid. Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga (1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat perkembangan astronomi di dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara besar-besaran karya-karya astronomi dari Yunani serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di Baghdad, budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah, ahli astronomi Islam pun bermunculan, Nasiruddin at-Tusi berhasil memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi, banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.
Ahli astronomi lainnya, seperti Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit bulan dan planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku ‘De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum’ itu kini masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus, Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas dari bidang optik. Melalui bukunya Mizan Al-Hikmah, Al Haitham mengupas kerapatan atmofser. Ia mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan atmofser dan ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian atmosfir akan homogen di ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi Copernicus. Akibatnya, Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga Galileo, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat Islam.
Jejak Abadi di Kawah ke Bulan
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains’ itu.
Al-Battani (858-929).
Sejumlah karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa.
Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
Ibnu Yunus (1009 M)
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah kawah di permukaan bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Al-Farghani
Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibn Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay’ah.
Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama Hipparchus (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil membangun observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.
Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
`’Ketertarikan dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi Observatorium Maragha yang dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas. Geliat pengkajian astronomi di Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408 M.
Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg mulai membangun observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat iru, Al-Kashi aktivitas pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung oleh tujuh puluh sarjana. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa dengan fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya.
Observatorium ini beroperasi selama 50 tahun. Sayangnya, setelah Ulugh Beg meninggal, obeservatorium itu pun mengalami kehancuran. Sejumlah astronom telah lahir dari lembaga itu yakni, Giyath al-Din Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy dan `Ali ibn Muhammad al-Qashji. Observatorium yang terakhir milik Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595) yang didirikan Taqi al-Din Muhammad ibn Ma’ruf al-Rashyd al-Dimashqiy. (Heri Ruslan–Republika)

Selengkapnya...

Gerhana Bulan

Gerhana bulan terjadi apabila Bulan berada di dalam kawasan bayang-bayang bumi. Pada masa itu bulan tidak mendapat cahaya matahari kerana Bulan terlindung oleh bumi, dengan kata lain bulan beroposisi dengn matahari. Ada 4 macam gerhana bulan:
1.Gerhana bulan total
Jika saat fase gerhana maksimum gerhana, keseluruhan Bulan masuk ke dalam bayangan inti / umbra Bumi, maka gerhana tersebut dinamakan gerhana bulan total. Gerhana bulan total ini maksimum durasinya bisa mencapai lebih dari 1 jam 47 minit.


1.Gerhana bulan sebagian
jika hanya sebagian Bulan saja yang masuk ke daerah umbra Bumi, dan sebagian lagi berada dalam bayangan tambahan / penumbra Bumi pada saat fase maksimumnya, maka gerhana tersebut dinamakan gerhana bulan sebagian.
2.Gerhana bulan penumbral sebagian
Dan gerhana bulan jenis terakhir ini, jika hanya sebagian saja dari Bulan yang memasuki penumbra, maka gerhana bulan tersebut dinamakan gerhana bulan penumbral sebagian. Gerhana bulan penumbral biasanya tidak terlalu menarik bagi pengamat. Karena pada gerhana bulan jenis ini, penampakan gerhana hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan saat bulan purnama biasa.

3.Gerhana bulan penumbral total
Pada gerhana bulan jenis ke- 3 ini, seluruh Bulan masuk ke dalam penumbra pada saat fase maksimumnya. Tetapi tidak ada bagian Bulan yang masuk ke umbra atau tidak tertutupi oleh penumbra. Pada kasus seperti ini, gerhana bulannya kita namakan gerhana bulan penumbral total.

Selengkapnya...

Saturday, August 1, 2009

Dasar hukum arah kublat

Surah Al-Baqarah ayat 149 :
Artinya :"Dan dari mana saja engkau keluar (untuk mengerjakan shalat) hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah). Sesunggunya perintah berkiblat ke Ka'bah itu benar dari Allah (tuhanmu) dan ingatlah Allah tidak sekali-kali lalai akan segala apa yang kamu lakukan". 


Surah Al-Baqarah ayat 150:
Artinya: "Dan dari mana saja engkau keluar (untuk mengerjakan solat) maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah) dan dimana sahaja kamu berada maka hadapkanlah muka kamu ke arahnya, supaya tidak ada lagi sebarang alasan bagi orang yang menyalahi kamu, kecuali orang yang zalim diantara mereka (ada saja yang mereka jadikan alasannya). Maka janganlah kamu takut kepada cacat cela mereka dan takutlah kamu kepada-Ku semata-mata dan supaya Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kamu, dan juga supaya kamu beroleh petunjuk hidayah (mengenai perkara yang benar)".

Dari Abu Hurairah r.a.
" Dari Abu Hurairah ra katanya : Sabda Rasulullah saw. Di antara Timur dan Barat terletaknya kiblat ( Ka'bah ) ".

Dari Anas bin Malik r.a.
"Bahwasanya Rasullullah s.a.w (pada suatu hari) sedang mendirikan solat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian turunlah ayat Al-Quran: "Sesungguhnya kami selalu melihat mukamu menengadah ke langit (berdoa mengadap kelangit). Maka turunlah wahyu memerintahkan Baginda mengadap ke Baitullah (Ka'bah). Sesungguhnya kamu palingkanlah mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Kemudian seorang lelaki Bani Salamah lalu, ketika itu orang ramai sedang ruku' pada rakaat kedua shalat fajar. Beliau menyeru, sesungguhnya kiblat telah berubah. Lalu mereka berpaling ke arah kiblat".  ( Diriwayatkan Oleh Muslim )
 
Berdasarkan ayat Al Qur'an dan hadits yang telah dinyatakan maka jelaslah bahwa menghadap arah kiblat itu merupakan satu kewajipan yang telah ditetapkan dalam hukum atau syariat. Maka tiadalah kiblat yang lain bagi umat Islam melainkan Ka'bah di Baitullah di Masjidil Haram.

Selengkapnya...

Friday, July 31, 2009

Kata falak dalam Al Quran

Asal makna kata falak (فَلَكٌ) menurut Ibnu Faris ialah ‘yadullu ‘alâ istidârah fî syai’ (يَدُلُّ عَلَى اسْتِدَارَةٍ فِى شَيْءٍ = menunjuk pada per­putaran atau peredaran sesuatu), umpamanya pemintal benang dinamakan falkatul mighzal (فَلْكَةُ الْمِغْزَل) karena ia berputar. Kata falak (فَلَكٌ) juga digunakan untuk menyatakan payudara wanita yang sedang subur karena ia bundar laksana bola (falaka tsadyu al-mar’ati idzâ istadarat, i فَلَكَ ثَدْيُ اْلمَرْأَةِ إِذَا اسْتَدَرَتْ).
Dengan mengiaskan pada peng­gunaan tersebut, maka timbullah istilah falak as-sama’ (فَلَكُ السَّمَاءِ) yang berarti ‘peredaran planet’. Kata falak (فَلَكٌ) juga digunakan untuk pengertian ‘se­potong bumi/tanah yang bundar, yang lebih tinggi dari apa yang ada di sekitar­nya (semacam bukit kecil)’. ‘Sampan atau bahtera’ disebut fulk (فُلْكٌ, dengan dhâmmah fa’), baik untuk mufrad maupun jamak. Tusammâ fulkan liannahâ tadûru fîl mâ’ (تُسَمَّى فُلْكًا لأَِنَّهَا تَدُوْرُ فِى الْمَاءِ i= dinamakan demi­kian, karena sampan tersebut beredar/berputar di dalam air).

Di dalam kitab Al-Mu‘jamul-Wasîth ditambahkan, kata falak (فَلَكٌ) juga digunakan untuk at-tallul-mustadîr minar-ramli haûlahû fadhâ’un (التَّلُّ الْمُسْتَدِيْرُ مِنَ الرَّمْلِ حَوْلَهُ فَضَاءٌ i = bukit pasir yang bundar dan di sekitarnya terdapat tanah lapang). Juga disebut falak (فَلَكٌ) maûjul-badhr al-mustadîril-mudhtharib (مَوْجُ الْبَحْرِ الْمُسْتَدِيْرِ الْمُضْطَرِبِ = ombak laut yang bundar, kemudian pecah).

Muhammad Ismail Ibrahim dan Ar-Raghib Al-Ashfahani mengartikan kata falak (فَلَكٌ) dengan majral-kawâkibi awil-fadhâ’i yadûru fîhin najmu awil-kawkabu (مَجْرَى الْكَوَاكِبِ أَوِ الْفَضَاءِ يَدُوْرُ فِيْهِ النَّجْمُ أَوِ الْكَوْكَبُ i = tempat lalu dan ber­edarnya bintang-bintang). Dengan demikian, ilmu falak menurutnya ialah ilmu yang membahas benda-benda ruang angkasa dan peredarannya, baik matahari maupun benda-benda angkasa lainnya. Ibnu Manzhur me­ngutip hadits Nabi yang menyatakan bahwa kata falak (فَلَكٌ) khusus untuk peredaran benda-benda angkasa.

Di dalam Al-Qur’an kata falak (فَلَكٌ) disebut dua kali, yaitu di dalam QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 33, dan QS. Yâsîn [36]: 40, sedangkan kata fulk (فُلْكٌ) disebut 23 kali, yaitu di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164, QS. Al-A‘râf [7]: 64, QS. Yûnus [10]: 22 dan 73, QS. Hûd [11]: 37 dan 38, QS. Ibrâhîm [14]: 32, QS. An-Nahl [16]: 14, QS. Al-Isrâ’ [17]: 66, QS. Al-Hajj [22]: 65, QS. Ar-Rûm [30]: 46, QS. Luqmân [31]: 31, QS. Fâthir [35]: 12, QS. Yâsîn [36]: 41, QS. Ash-Shâffât [37]: 140, QS. Ghâfir [40]: 80, QS. Az-Zukhruf [43]: 12, serta QS. Al-Jâtsiyah [45]: 12.

Falak (فَلَكٌ) di dalam QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 33 berhubungan dengan pernyataan Tuhan bahwa Dia telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, yang masing-masing beredar di dalam garis edarnya. Menurut Tafsîr Al-Mîzân, kata falak (فَلَكٌ), di sini berarti ‘tempat beredar’.

Di dalam QS. Yâsîn [36]: 40, Tuhan me­nyata­kan bahwa tidak mungkin matahari men­dapat­kan bulan dan malam juga tidak dapat mendahului siang karena masing-masing ber­edar pada garis edarnya. Oleh pengarang Al-Mîzân ayat ini ditafsirkan bahwa matahari, bulan, serta bintang-bintang beredar pada garis edar tertentu sebagaimana ikan berenang di dalam air. Dengan demikian, falak (فَلَكٌ) ialah tempat beredar yang di dalamnya bergerak benda-benda langit, meskipun di dalam ayat ini hanya disebutkan matahari dan bulan, siang dan malam.

Di samping dijelaskan penggunaan kata falak (فَلَكٌ), di dalam Al-Qur’an juga dijelaskan penggunaan kata fulk (فُلْكٌ) yang seakar dengan falak (فَلَكٌ). Pengungkapan kata fulk (فُلْكٌ) di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 berkaitan dengan bukti-bukti keesaan Allah dan kekuasaan-Nya, seperti menciptakan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, fulk (فُلْكٌ = sampan atau bahtera) yang berlayar di laut, hujan yang turun dari langit, serta perputaran angin dan awan yang dikendalikan di antara langit dan bumi.

Pengungkapan kata fulk (فُلْكٌ) di dalam QS. Al-A‘râf [7]: 64 termasuk di dalam rangkaian kisah Nabi Nuh As. Allah telah menyelamatkan Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman kepadanya di dalam fulk (فُلْكٌ = bahtera) serta menenggelamkan orang-orang yang mendusta­kan Nabi Nuh dan ayat-ayat Tuhan.

Dari uraian di atas terlihat bahwa Al-Qur’an menggunakan kata falak (فَلَكٌ) pada dua tempat, yang keduanya mengacu kepada arti asal, yaitu ‘beredar’, ‘berputar’ atau ‘sesuatu yang bundar’. Namun, di dalam Al-Qur’an maksud kata ini ialah tempat beredarnya benda-benda angkasa, yang berupa bulan, matahari dan planet-planet lainnya. Kata fulk (فُلْكٌ) yang digunakan untuk pengertian as-safînah (السَّفِيْنَةُ ii= sampan) terdapat pada 32 tempat.
artikel ini dikutip dari www.psq.or.id
Selengkapnya...

Thursday, July 30, 2009

Dasar-dasar ilmu falak

Falak ( Arab = الفلك ) secara bahasa (etimologi) berarti orbit atau lintasan benda-benda langit.Secara terminologi, ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit-khususnya bumi, bulan, dan matahari-pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.

Ilmu Falak disebut juga ilmu hisab, karena ilmu ini menggunakan perhitungan. Ilmu Falak disebut juga ilmu rashd, karena ilmu ini memerlukan pengamatan. Ilmu Falak disebut juga ilmu miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu.

Ruang Lingkup Ilmu Falak pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu Falak Ilmiy, dan ilmu Falak Amaliy. Ilmu Falak Ilmiy disebut juga Theoritical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy disebut juga Practical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu Falak atau Ilmu Hisab.Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yakni: Arah kiblat dan bayangan arah kiblat, waktu-waktu sholat, awal bulan dan gerhana.
Selengkapnya...